Story kerbau “Kiai Slamet” yang dikeramatkan warga Solo

Kisah kebo Kiai Slamet yang dikeramatkan warga Solokebo bule. ©rizkykertanegara.files.wordpress.com

 

Bagi mayoritas warga Solo, seekor kerbau albino yang dipelihara Keraton Kasunanan Surakarta memiliki makna tersendiri. Kerbau albino piaraan keraton atau lebih dikenal dengan sebutan kebo bule ini, menurut Babad Solo yang ditulis pujangga Jawa, Raden Mas Said awalnya merupakan pemberian dari Bupati Ponorogo kepada Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) II pada zaman Keraton Mataram kuno.

Masih menurut cerita Babad Solo, kebo Kiai Slamet ini dulunya menjadi hewan kepercayaan Raja PB II. Karena keberadaan hewan bertanduk dua ini awalnya untuk mengawal pusaka Kiai Slamet setiap kali kirab digelar oleh kerabat keraton. Oleh karena sering dipercaya mengawal pusaka Kiai Slamet, maka banyak warga menamai kebo bule keraton dengan sebutan Kebo Kiai Slamet.

Pernah pula suatu ketika sang Raja Solo hendak mencari lokasi pendirian Keraton Surakarta yang baru, sang raja membawa serta kawanan kebo bule berjumlah puluhan ekor untuk mencari tempat yang ditentukan. Karena PB II beranggapan, di mana kebo bule berdiam di suatu tempat maka di situlah lokasi pendirian baru keraton.

Setelah berjalan puluhan kilometer untuk mencari lokasi keraton, Raja PB II melihat si kerbau menghentikan langkah kakinya cukup lama di sebuah tempat. Setelah ditunggu beberapa hari tak kunjung berpindah tempat, sang raja berkeyakinan bahwa di tempat kebo bule berhenti itulah Keraton Surakarta bisa dibangun. Alhasil, hingga sekarang lokasi pendirian Keraton Kasunanan Surakarta tetap berada di jantung kota.

Karena berjasa atas penentuan lokasi pembangunan keraton, maka posisi kesakralan kebo bule Kiai Slamet menjadi sangat penting bagi warga Solo. Kebo Kyai Slamet merupakan pepunden keramat bagi warga lokal. Sebab, setiap Malam 1 Suro seluruh masyarakat Surakarta tumplek blek memadati jantung pusat kota untuk melihat dari dekat iring-iringan kawanan kebo Kiai Slamet.

Pembukaan tradisi kirab puasaka keraton pun sangat tergantung pada kebo Kyai Slamet. Bila sang kerbau ngambek alias tidak mau keluar dari kandangnya, maka acara kirab bisa ditiadakan sampai sang kerbau mau keluar dari kandangnya. Saat Malam 1 Suro, banyak warga menyikapi kekeramatan itu dengan berjalan mengikuti kirab. Mereka saling berebut menyentuh tubuh kebo bule. Saking keramatnya, malah ada segelintir orang yang mempercayai kotoran yang keluar dari dubur kebo Kyai Slamet adalah sebuah keberuntungan. Kotoran atau tletong kebo bule selalu diperebutkan oleh warga untuk dibawa pulang.

Saat dikirab, warga juga rela membiarkan kebo Kiai Slamet memakan tanaman padi atau sayuran milik mereka, sebab mereka yakin dengan memberi makan kebo Kiai Slamet sama saja memberikan persembahan atau ngalap berkah. Bagi warga, kebo bule selalu membawa berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Keistimewaan Kebo Kiai Slamet ini, juga menjadi patokan bagi warga dalam melihat sebuah ketentraman di wilayahnya. Boleh percaya atau tidak, bila ada seekor kebo bule mati maka hal itu pertanda situasi kota akan gaduh.

Seiring berjalannya waktu, jumlah kebo bule piaraan keraton kini kian berkurang hanya tinggal 12 ekor. Kebanyakan sudah mati termakan usia, sakit maupun mati gara-gara kalah berkelahi dengan indukan kerbau. Kini, sisa kebo bule ialah Kiai Bodong, Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda. Pihak keraton mempercayakan kepada Kyai Bodong sebagai kerbau jantan keturunan murni Kiai Slamet untuk memimpin kirab pusaka 1 Suro. Disebut keturunan murni, karena kebo Kyai Bodong merupakan turunan langsung dari induk-induk sesama kerbau Albino.

Sebagian orang mempercayai, bahwa berkurangnya jumlah kebo bule di keraton sama artinya dengan berkurangnya kewibawaan Keraton Surakarta. Bahkan, tak sedikit orang yang percaya jika hal ini juga sebagai pertanda akan adanya prahara di dalam keluarga besar keraton.

sumber: Fariz Fardianto