Gila sekali

Kita lebih khawatir anak kita tidak pandai Matematika dibanding memiliki kepribadian yang baik. Lihatlah, kita kirim anak-anak kita kursus Matematika, dijejali rumus, soal-soal tingkat tinggi. Tapi kita seharusnya lebih semangat mendidik anak-anak kita agar mau mengantri, bersedia membagi miliknya, ringan hati membantu teman-temannya. Matematika memang akan membawa dia menjadi profes…or, tapi kepribadian yang baik akan memberikannya kebahagiaan. Matematika memang akan menjamin pekerjaan dan masa depannya, tapi kepribadian yang baik akan membuatnya menjadi manusia yang utuh dan damai.

Kita lebih khawatir anak kita tidak pandai IPA dibanding memiliki pemahaman yang baik. Lihatlah, kita suruh anak-anak kita les tambahan, privat dan sebagainya, mereka belajar fisika, kimia dan biologi. Tapi kita seharusnya lebih semangat mengajari mereka bersahabat dengan alam sekitar. Mencintai kehidupan, menyayangi mahkluk hidup. Banyak sekali orang2 yang paham IPA kelas tinggi, tapi mereka memotong gunung, mengeringkan danau, menghabisi hutan, tanpa ampun. Bukankah banjir yang tiap tahun menggenangi kota kita adalah “hadiah” dari alam karena kita terlalu pandai IPA?

Kita lebih khawatir anak kita tidak pandai membaca dan menulis dibanding mereka bisa memahami esensi dirinya sebagai manusia sosial. Lihatlah, kita suruh mereka belajar abjad di usia yang dini sekali, bergegas, seolah tidak mau ketinggalan. Kita suruh mereka belajar geografi, sosiologi, antropologi, tapi apa hasilnya? Bukankah banyak orang2 yang justeru pandai sekali membaca, dia sendiri yang melanggar apa yang dia baca. Ada pejabat tinggi, dia sendiri yang menanda-tangani larangan merokok sembarangan, untuk dia sendiri juga yang melanggarnya. Sia-sia semua pelajaran membaca itu.

Kita lebih khawatir anak kita tidak jenius, tidak punya ranking, tidak berprestasi di sekolahnya, dibanding mereka bisa memahami proses kehidupan. Lihatlah, kita berlomba-lomba mengirim mereka ke sekolah menurut kita yang terbaik. Tidak cukup sekolah di sebelah rumah, kita kirim ke tempat2 sesuai ambisi. Kita suruh mereka menjadi dokter, insinyur, akuntan, dsbgnya. Hingga lupa, bahwa di atas segalanya, proses jauh lebih penting. Bagaimana anak-anak kita mengetahui: kerja keras, kejujuran, kehormatan. Bukan hanya fokus pada angka–yang kemudian menghalakan segala cara. Kita mendidik anak-anak kita hanya peduli pada kesimpulan akhir, selembar ijasah. Maka mereka berubah menjadi generasi instan, menghalalkan segala cara.

Kita lebih khawatir anak kita tidak jadi hebat, tidak punya pekerjaan hebat, tidak keren dsbgnya. Hingga kita lupa: apakah kita pernah khawatir, anak-anak kita akan sama seperti kita, hidup berpuluh tahun, bekerja seperti mesin, untuk kemudian menatap ke belakang, kita sama saja seperti milyaran orang yang pernah hidup di dunia ini. Mereka menghabiskan hidupnya, tanpa pernah sekali saja mengejar cita-citanya, menggapai mimpi-mimpinya, menjadi manusia yang baik dan bermanfaat.

Ketahuilah, salah-satu hal gila di dunia ini adalah: hidup berpuluh tahun, menjadi suruhan orang lain (pun suruhan diri sendiri), dililit oleh standar dunia, mengejar habis-habisan materi, sikut-sikutan, menghalalkan segala cara, membela habis tempat kerja, semua dilakukan demi dunia, untuk kemudian saat mati, ternyata tidak membawa apapun.

-tere-